CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

05/05/09

Adobe Photoshop CS 3 Portable

Program bgs nihencem
simple, ga ribet...
hehe


klo mw download
klik dsni ya...


Smoga bermanfaat
salam hangat smua
Selengkapnya...

Magic Video Converter

Moshi Moshipika26
salam hangat smuat
Unieq crew pnya proram asik ni...




Program ini adlh Magic Video Converter, Jd anda bsa mengkonvert suatu format file video k'bntuk format yg lain, seperti dari WMV mnjdi AVI
klo mw download Programnya
Klik D'sini Ya...

Smoga berguna bgi smua y..
salam hangat n pizz
Selengkapnya...

03/05/09

Internet Download Manager 5.17

Moshi moshi
salam hangat smua
ada IDM versi trbaru nh



Klo mw download
klik dsni y

bagi yg bnggng bgaimana cara patchnya, bgni
sth d'download llu bka hasil downloadn anda yg brupa file zip, stlh dbka anda akan mnemukn dua file brformat ".exe"
yg prtama hrs anda lkukan adalh menginstall prpogram .exe IDM itu sndri
stlh slsai, jgn dbuka dlu program IDM'nya tpi qt install program patchx, kmudian stlh patch d'buka kta tnggl klik tmbol " patch ", bila proses patch tlh selsai, llu tnggl qt close, trs bsa dh d'pke IDMx
smoga brguna y
hehe
Selengkapnya...

pindah Tema

moshi moshi
babai
Salam hangat smua..pika26

dalam posting kli ini unieq crew pgn ksih info klo nti tema posting kmi mgkn bkl campir aduk, krna bnyak bgt yg mw d'postingn, dri pda ribet d'atur"
jd kmi bkn campr aduk sajja...
hehe

salam hangat smua n pizzzzpeace

Selengkapnya...

02/05/09

Istilah Dalam Fotografi

Moshi Moshi
salam Hangat Smuapika26
kli ini posting akan membahas mengenai istilah yg sering dipakai dalam dunia fotografi...
lgsg sajja kta berjalan k'tema ya..
hehe


Kedalaman ruang
Depth of Field adalah istilah khusus di dalam fotografi untuk menunjukkan ruangan tertentu di dalam foto yang mendapatkan perhatian khusus oleh mata karena adanya perbedaan ketajaman (fokus).
Perubahan kedalaman ruang dipengaruhi oleh tiga faktor:
• Jarak fokus utama dari kamera
o Lebar ruang tajam berbanding lurus dengan kuadrat jarak objek. Jika kita mengubah jarak antara kamera dengan objek sebesar 3x (lebih jauh - dengan menggeser kamera mundur dari posisi semula) maka lebar ruang tajam akan menjadi 9x lebar semula.
• Bukaan diafragma
o Lebar ruang tajam berbanding lurus dengan diafragma. Contoh: jika diafragma dinaikkan 2 stop dari f/8 ke f/16, maka lebar ruang tajam akan menjadi 2x lebar semula.
• Panjang fokus lensa yang digunakan
o Lebar ruang tajam berbanding terbalik dari kuadrat panjang fokus. Dengan kata lain, lebar ruang tajam akan menjadi 4x lebar semula jika kita mengubah lensa dari 100mm ke 50mm (panjang fokus lensa setengah dari semula).
Kecepatan rana
Dalam istilah fotografi, Kecepatan rana atau Shutter Speed adalah ukuran kecepatan rana membakar medium penangkap cahaya (lebih umum disebut film atau sensor digital).
Umumnya Kecepatan rana terdiri dari urutan angka 8000, 4000, 2000, 1000, 500, 250, 125, 60, 30, 15, 8, 4, 2, dan 1. Angka ini merupakan angka kebalikan dari lama pajanan dalam detik. Misalnya angka 30 berarti 1/30 detik, dan seterusnya.
Untuk kecepatan rana lebih lama dari 1 detik menggunakan tanda ". Sementara kecepatan rana bebas sesuai dengan pemencetan tombol rana oleh fotografer diberi tanda B.
Namun angka tersebut tidaklah mutlak. Banyak produsen kamera menggunakan kecepatan rana yang hanya mendekati angka tersebut.
Pengaruh perbedaan kecepatan rana
Kecepatan rana mempengaruhi eksposur cahaya yang membakar film. Semakin cepat pembukaan rana, semakin sedikit cahaya membakar medium, dan sebaliknya. Hal ini akan mempengaruhi pajanan.

Pajanan /Exposure
Pajanan (atau lebih populer dalam istilah Bahasa Inggris exposure) adalah istilah dalam fotografi yang mengacu kepada banyaknya cahaya yang jatuh ke medium (film atau sensor gambar) dalam proses pengambilan foto.
Untuk membantu fotografer mendapat setting paling tepat untuk pajanan, digunakan lightmeter. Lightmeter, yang biasanya sudah ada di dalam kamera, akan mengukur intensitas cahaya yang masuk ke dalam kamera. Sehingga didapat pajanan normal.

Jarak fokus
arak fokus atau jarak pumpun (bahasa Inggris: focal length) adalah ukuran jarak antara elemen lensa dengan permukaan film (atau sensor digital) pada kamera.
Lensa dengan panjang fokal besar akan memberikan sudut pandang yang sempit sehingga sebuah objek pada jarak jauh akan nampak menjadi lebih besar di dalam foto. Sebaliknya lensa dengan panjang fokus kecil memberikan sudut pandang tangkap lebih luas dan menyebabkan objek mendapat porsi lebih kecil di dalam foto. Panjang fokal yang bisa berubah-ubah sering diistilahkan dengan zoom (perbesaran).


Rana
Rana atau penutup (Bahasa Inggris: shutter) dalam istilah fotografi adalah tirai pada kamera yang menutupi permukaan atau sensor foto. Jika tirai ini terbuka maka akan terjadi pajanan pada permukaan film atau sensor foto tadi.
Awalnya shutter dibuat dari lempengan logam, namun kebanyakan kamera modern menggunakan penutup yang dibuat dari kain untuk mengurangi berat kamera dan untuk mendapatkan kecepatan rana yang lebih cepat. Penutup yang terbuat dari kain memiliki kekuatan sekitar 50,000 hingga 200,000 kali proses buka-tutup (melakukan pajanan). Kain penutup yang aus atau rusak bisa dengan mudah diganti di pusat layanan purna jual merek kamera yang bersangkutan.
Lamanya tirai ini terbuka ditentukan oleh setelan kecepatan rana pada kamera.


Tombol rana
Tombol rana adalah tombol pada kamera yang jika ditekan akan menyebabkan terjadinya pajanan pada film atau sensor digital.
Pada kamera SLR, jika tombol ini ditekan maka penutup akan terbuka dan cahaya masuk terekam di permukaan film atau sensor digital. Pada kamera digital kelas konsumen, jika tombol ini ditekan maka data yang terbaca oleh sensor akan diteruskan ke CPU untuk selanjutnya diproses dan disimpan ke kartu memori.

Kecepatan rana
Dalam istilah fotografi, Kecepatan rana atau Shutter Speed adalah ukuran kecepatan rana membakar medium penangkap cahaya (lebih umum disebut film atau sensor digital).
Penomoran
Umumnya Kecepatan rana terdiri dari urutan angka 8000, 4000, 2000, 1000, 500, 250, 125, 60, 30, 15, 8, 4, 2, dan 1. Angka ini merupakan angka kebalikan dari lama pajanan dalam detik. Misalnya angka 30 berarti 1/30 detik, dan seterusnya.
Untuk kecepatan rana lebih lama dari 1 detik menggunakan tanda ". Sementara kecepatan rana bebas sesuai dengan pemencetan tombol rana oleh fotografer diberi tanda B.
Namun angka tersebut tidaklah mutlak. Banyak produsen kamera menggunakan kecepatan rana yang hanya mendekati angka tersebut.




Tripod (fotografi)
Tripod dalam fotografi, adalah alat untuk membantu agar badan kamera bisa berdiri dengan tegak dan tegar. Hal ini dimakudkan untuk mengurangi kelelahan fotografer dalam mengambil gambar dan mengurangi noise yang ditimbulkan oleh guncangan tangan fotografer.
Tripod biasanya dipakai jika fotografer menggunakan shutter speed di angka 30 atau lebih lambat atau menggunakan lensa kamera dengan focal length lebih dari 200 mm.


Viewfinder
Viewfinder atau dikenal juga dengan jendela pelihat, berupa jendela kecil pada kamera untuk melihat object yang akan diambil oleh fotografer, object yang tampak pada viewfinder sesuai dengan kenyataan dan hasil yang ada di viewfinder pula yang akan tercetak di film. pada kamera fotografi profesional, di dalam viewfinder juga terdapat titik fokus dan pengukuran cahaya sehingga fotografer dapat melihat apakah gambar yang dihasilkan memiliki cahaya yang cukup dan ketajaman gambar yang pas.


Lensa variabel
Pengaruh lensa variabel
Pengaruh penggunaan lensa variabel adalah lebar sudut pengambilan gambar, atau dalam istilah awam perbesaran, bisa diatur sesuai kebutuhan tanpa harus mengganti-ganti lensa.

Proses pengubahan panjang focal lensa saat pengambilan gambar sering disebut dengan cropping atau zooming. Perubahan dari focal pendek ke focal yang lebih banyak disebut zooming in, yang akan mengakibatkan obyek nampak lebih besar (kesan dekat). Sedangkan perubahan dari focal panjang ke focal yang lebih pendek disebut zooming out, yang akan mengakibatkan obyek nampak lebih kecil (kesan jauh).
Saat teknik ini diterapkan dalam satu kali pajanan, akan menghasilkan efek seperti berlari.

Kecepatan film
Kecepatan film adalah istilah dalam fotografi untuk mengukur tingkat kesensitivitas atau kepekaan film foto terhadap cahaya. Film dengan kepekaan rendah (memiliki angka ISO rendah) membutuhkan sorotan (Inggris: exposure) yang lebih lama sehingga disebut slow film, sedangkan film dengan kepekaan tinggi (memiliki angka ISO tinggi) membutuhkan exposure yang singkat.
Skala kecepatan film ISO
Standarnya dikenal dengan ISO 5800:1987 dari International Organization for Standardization (ISO) yang menetapkan skala linear dan skala logaritmik untuk mengukur kecepatan film. Skala linear ISO dikenal dengan ASA.
Bukaan (fotografi)

Bukaan
atau rana di dalam fotografi berarti ukuran pembukaan diafragma yang mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam kamera. Biasanya dilambangkan dengan huruf f.
Angka bukaan umumnya merupakan urutan 1, 1.2, 1.4, 2, 2.8, 4, 5.6, 8, 11, 16, dan seterusnya.
Nilai bukaan merupakan perbandingan antara jarak fokus lensa dengan diameter lubang diafragma, yang biasanya dituliskan dengan format f/(nilai bukaan). Sebagai contoh, lensa 100mm, pada pengaturan bukaan 4 (f/4), mempunyai arti bahwa diafragma pada lensa tersebut sedang terbuka dengan diameter 25mm.
Karena bukaan adalah perbandingan antara jarak fokus lensa dengan diameter dari diafragma yang terbuka saat itu, maka untuk satu nilai bukaan (misalnya f/8) pada semua lensa (tidak tergantung dari panjang fokal lensa tersebut), akan meneruskan intensitas cahaya yang sama.
Pengaruh bukaan
Semakin besar angka bukaan, berarti semakin kecil diameter lubang diafragma di bagian dalam lensa. Besarnya diameter terbukanya diafragma akan membuat cahaya yang masuk menjadi lebih banyak, sehingga pajanan cahaya bertambah dan akibatnya tingkat keterangan foto bertambah, demikian pula sebaliknya.
Pengaruh lain dari bukaan adalah terjadinya perbedaan ruang ketajaman. Angka bukaan yang kecil menyebabkan ruang ketajaman berkurang. Sebaliknya angka bukaan yang kecil akan menyebabkan ruang ketajaman bertambah.


Depth of field preview
Depth of field preview adalah tombol tambahan di badan kamera untuk melihat bagaiamana kedalaman ruang terbentuk di foto.
Awalanya kamera SLR dirancang untuk selalu membuka lensa pada nilai bukaan sebenarnya sehingga kadang mempersulit fotografer untuk membidik, terutama di tempat gelap jika menggunakan bukaan kecil. Sebagai contohnya di kamera Pentax Asahi.
Namun kamera berikutnya pun tidak memberi solusi yang baik dengan memberi pandangan tetap di bukaan terbesar. Sebagai akibat penggunaan sistem ini, fotografer mengalami kesulitan memperkirakan kedalaman ruang di foto nanti.
Karena itu beberapa kamera SLR untuk penggunaan profesional atau semi-profesional dilengkapi dengan tombol Depth of field atau DOF preview yang jika ditekan akan membuat kisi-kisi diafragma pada lensa merapat sesuai dengan setelan yang dikehendaki. Akibatnya fotografer akan dapat melihat Kedalaman ruang yang sesungguhnya walaupun tombol shutter belum ditekan. Contoh paling awal adalah di kamera Nikon FM1

Rule of thirds
Dalam dunia fotografi, Rule of third atau aturan 1/3 bagian adalah petunjuk bagaimana caranya memposisikan obyek di 1/3 bagian dalam foto agar lebih enak dilihat. Aturan ini mungkin lebih tepat disebut sebagai panduan, sebab tidak selamanya penempatan obyek di 1/3 bagian foto itu nikmat untuk dilihat.

Super-wide
Super-wide adalah istilah fotografi yang mengacu kepada lensa dengan panjang fokal yang sangat pendek sehingga gambar yang ditangkap memiliki sudut pandang sangat lebar.
Pada sistem kamera 35mm, lensa dianggap super-wide jika panjang focalnya kurang dari 20mm.


Kedalaman ruang
Depth of Field adalah istilah khusus di dalam fotografi untuk menunjukkan ruangan tertentu di dalam foto yang mendapatkan perhatian khusus oleh mata karena adanya perbedaan ketajaman (fokus).
Perubahan kedalaman ruang dipengaruhi oleh tiga faktor:
• Jarak fokus utama dari kamera
o Lebar ruang tajam berbanding lurus dengan kuadrat jarak objek. Jika kita mengubah jarak antara kamera dengan objek sebesar 3x (lebih jauh - dengan menggeser kamera mundur dari posisi semula) maka lebar ruang tajam akan menjadi 9x lebar semula.
• Bukaan diafragma
o Lebar ruang tajam berbanding lurus dengan diafragma. Contoh: jika diafragma dinaikkan 2 stop dari f/8 ke f/16, maka lebar ruang tajam akan menjadi 2x lebar semula.
• Panjang fokus lensa yang digunakan
o Lebar ruang tajam berbanding terbalik dari kuadrat panjang fokus. Dengan kata lain, lebar ruang tajam akan menjadi 4x lebar semula jika kita mengubah lensa dari 100mm ke 50mm (panjang fokus lensa setengah dari semula).




Selengkapnya...

28/04/09

Sejarah Fotografi Indonesia

Moshi Moshi
salam Hangat Smuapika26
Posting kli ini Unieq crew akn membahas sejarah perkembangan fotografi di Indonesia
lgsg saja k'tema posting ya....



Fotokopi Asli, Selintas Sejarah Fotografi Indonesia
Alexander Supartono
Sejak awal kedatangannya, perkembangan fotografi Indonesia selalu mengait dan mengalir bersama momentum sosial-politik perjalanan bangsa ini. Momentum inilah yang menentukan perkembangan medium ini dalam masyarakatnya; dan, pada titik tertentu, juga turut berperan menciptakan momentum bagi masyarakatnya. Mulai dari momentum perubahan kebijakan politik kolonial, revolusi kemerdekaan, ledakan ekonomi awal 1980-an, sampai Reformasi 1998.
Sebagaimana jamaknya di tanah jajahan pada abad ke-19, fotografi didatangkan sebagai bagian dari tradisi representasi visual baru yang dimungkinkan oleh teknologi kamera, dalam rangka lebih memperkenalkan tanah jajahan dan penghuninya: manusia, hewan, dan tanaman. Tradisi ini kemudian berkembang sebagai dokumentasi visual yang secara sistematis mencatat properti dan wilayah pemerintah kolonial; yang kemudian dipakai sebagai sertifikat keberhasilan Belanda memperadabkan tanah jajahan dan dipamerkan di berbagai ekspo kolonial dunia.
Tahun 1841, seorang pegawai kesehatan Belanda, atas perintah Kementerian Kolonial, mendarat di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Juriaan Munich, nama ambtenaar itu, diberi tugas "to collect photographic representations of principal views and also of plants and other natural objects" (Groeneveld 1989). Tugas ini berakhir dengan kegagalan teknis. Di Holand Tropika, untuk menyebut wilayah mereka di daerah tropis, Munich kelabakan mengendalikan sensitivitas cahaya plat yang dibawanya, dihajar oleh kelembapan udara yang mencapai 90 persen dan terik matahari yang tegak lurus dengan bumi. Foto terbaik yang dihasilkannya membutuhkan waktu eksposure 26 menit.
Terlepas dari kegagalan percobaan pertama di atas, bersama mobil dan jalanan beraspal, kereta api dan radio, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan, penempatan pasukan dan meriam, tetapi dengan membangun dan menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administratif kolonial, pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris.
Latar inilah yang menjelaskan, mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) penguasaan alat ini secara eksklusif berada di tangan orang Eropa, sedikit orang China dan Jepang. Survei fotografer dan studio foto komersial di Hindia Belanda 1850-1940 menunjukkan dari 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil, terdapat 315 nama Eropa, 186 China, 45 Jepang dan hanya 4 nama "lokal": Cephas di Yogyakarta, A Mohamad di Batavia, Sarto di Semarang, dan Najoan di Ambon.
Sedangkan bagi penduduk lokal, keterlibatan mereka dengan teknologi ini adalah sebagai obyek terpotret, sebagai bagian dari properti kolonial. Mereka berdiri di kejauhan, disertai ketakjuban juga ketakutan, melihat tanah mereka ditransfer dalam bidang dua dimensi yang mudah dibawa dan dijajakan. Kontak langsung mereka dengan produksi fotografi adalah sebagai tukang angkut peti peralatan fotografi. Pemisahan ini berdampak panjang pada wacana fotografi di Indonesia di kemudian hari, di mana kamera dilihat sebagai perekam pasif, sebagai teknologi yang melayani kebutuhan praktis.
Dibutuhkan hampir seratus tahun bagi kamera untuk benar-benar sampai ke tangan orang Indonesia. Masuknya Jepang tahun 1942 menciptakan kesempatan transfer teknologi ini. Masuknya Jepang pada 1942 menciptakan kesempatan transfer teknologi ini. Karena kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kator berita mereka, Domei. Mereka inilah, Mendur dan Umbas bersaudara, yang membentuk imaji baru Indonesia, mengubah pose simpuh di kaki kulit putih, menjadi manusia merdeka yang sederajat. Foto-foto mereka adalah visual-visual khas revolusi, penuh dengan kemeriahan dan optimisme, beserta kesetaraan antara pemimpin dan rakyat biasa. Inilah momentum ketika fotografi benar-benar "sampai" ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai merepresentasikan dirinya sendiri.

Kalah
populer

Dari momentum yang sangat penting ini, tanpa mengingkari nilai historis yang diciptakannya, gagasan fotografi sebagai perekam pasif masih berlanjut. Sehingga ketika kamera merekam lautan perubahan di tengah revolusi, dan imaji yang tersebar mengungkap kelahiran sebuah bangsa, subyek yang direpresentikan begitu dominan, meninggalkan subyek yang merepresentasikan, sang fotografer. Nama Mendur dan Umbas bersaudara, misalnya, jauh kalah populer dibanding pelukis yang juga aktif dalam revolusi seperti Soedjojono dan Afandi. Fungsi kamera sebagai pengkopi realitas semakin dipertegas, dan fotografer tertinggal di belakang kamera sebagai operator, sebagai "tukang potret".
Peran sebagai "tukang potret" yang menghilangkan keterlibatan manusia dari proses reproduksi ini, dalam derajat yang berbeda-beda masih terus terpelihara sampai sekarang. Perkembangan industri media cetak di Indonesia sejak awal 1970-an memang menjadi momentum penting bagi kelahiran fotografer-fotografer baru. Namun, pertambahan kuantitas ini tidak secara otomatis berbanding lurus dengan perkembangan fotografi itu sendiri. Industri media cetak tidak menaruh perhatian lebih jauh pada peran fotografi, selain kepenuhan informasi visual yang hampir selalu disertai semangat sensasional. Pencantuman kredit nama fotografer pada setiap foto yang dipublikasikan pun baru mulai pada awal 1990-an. Mereka juga merasa cukup dengan fotografer hasil didikan kursus kilat fotografi atau para otodidak. Dari sini, tidak berarti tidak ada bakat yang berkembang, namun tidak cukup untuk menjadi sebuah fenomena dalam sejarah fotografi Indonesia, selain menjadi catatan kasus individu yang luar biasa seperti Kartono Ryadi. Sering kali bakat-bakat menjanjikan yang disemai dari wilayah ini, justru terseret ritme kerja industri media yang menenggelamkan mereka dalam rutinitas. Untuk periode yang cukup lama (1970an-1990an), fotografi Indonesia terbenam dalam fungsi melayani industri. Momentum pertumbuhan ekonomi dan perkembangan infrastruktur media cetak ternyata tidak berbicara banyak pada perkembangan medium representasi visual ini, baik dari tema, cara ungkap, dan inovasi estetisnya.
Dengan total oplah sekitar empat juta eksemplar, media massa cetak di Indonesia sebenarnya bukanlah acuan yang cukup signifikan bagi perkembangan fotografi kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk hampir 250 juta. Namun, media massa cetak menjadi wilayah perkembangan yang sangat penting dalam periode ini karena dia menjadi satu-satunya ruang yang paling mungkin. Karena ruang perkembangan fotografi yang lain seperti galeri, museum, industri buku, festival, dan pasar fotografi lebih sedikit lagi menyediakan kesempatan. Dari sini pulalah kita bisa memahami mengapa agensi foto tidak berkembang di Indonesia sampai awal abad ke-21, karena sebagian besar jurnalis foto sudah tertampung dalam medianya masing-masing.
Di lain pihak, tidak sulit untuk menyadari, juga untuk fotografer Indonesia, bahwa setiap foto adalah selalu interpretasi atas realitas dari pada melulu salinan mentahnya. Sehingga posisi dan peran fotografer sebagai subyek perepresentasi tidak dapat diabaikan. Reproduktibilitas foto yang mendulang banyak masalah etis dalam distribusinya, juga menjadi pengetahuan yang tidak eksklusif di kalangan fotografer, juga peran penting fotografi dalam perubahan sosial. Nama para master fotografi beserta capaian teknis, tema, dan estetis mereka juga merupakan bahan pembicaraan keseharian, yang kadang menyelipkan nama penulis fotografi dan pemikiran mereka.
Masalahnya, gagasan yang berkembang di seputar fotografi tersebut tidak menemukan ruang dan titik pijaknya. Mereka hanya beredar secara terbatas, dan tidak mempunyai dampak signifikan pada praktik fotografi secara keseluruhan. Hal ini disebabkan, pertama karena tidak ada tradisi untuk membincangkan "kerumitan" di atas, sebab kamera dalam sejarahnya hanya diterima dan dipraktikkan dalam fungsinya yang purba: pengkopi realitas. Fotografi lebih dikenal dan disederhanakan dalam hijau-kuning-biru dari Fuji-Kodak-Konika, sebagai bisnis pengkopi realitas yang tersebar dalam studio foto komersial.
Kedua, tidak ada kebutuhan untuk "memperumit" praktik fotografi yang sudah berjalan. Media massa cetak tidak mempunyai tuntutan lebih dari fungsi dokumentatif yang cenderung tidak bermasalah secara politis. Dari sini sebenarnya menarik untuk melihat fakta bahwa dalam periode pemerintahan militer Soeharto (1966-1998) yang banyak melakukan pembatasan kebebasan berekspresi, tidak pernah tercatat sensor terhadap foto atau media cetak ditutup karena publikasi salah satu fotonya, kecuali dengan alasan pornografi. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu parameter mandeknya fotografi sebagai medium ekspresi, plus ketidakacuhannya pada kondisi masyarakatnya.
Ketiga, kalaupun ada fotografer yang berkarya di luar kejamakan, saat mereka tidak mau lagi berfungsi sebagai "tukang potret", tidak ada infrastruktur yang mendukung mereka. Mereka akan kesulitan untuk memublikasikan atau memamerkan karya mereka. Sampai awal 1990, fotografi Indonesia belum mendapatkan momentum untuk berkembang lebih jauh dari apa yang sudah dijalaninya selama 150 tahun.
Momentum tersebut perlahan terbangun saat Institut Kesenian Jakarta, yang berdiri sejak tahun 1971, membuka Departemen Fotografinya tahun 1992. Pada tahun yang sama, kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara, galeri pertama yang mengkhususkan diri pada foto jurnalistik. Dua tahun kemudian, Institut Seni Indonesia di Yogyakarta juga membuka Departemen Fotografi. Lewat tiga institusi inilah untuk pertama kalinya, fotografi Indonesia menemukan ruang berkembang yang konsisten, terstruktur dan sistematis, di luar praktik keseharian. Mereka memberi tempat pada minat, untuk berkembang.
Pada saat yang sama mereka juga mulai membangun apresiasi publik untuk menyadari bahwa fotografi bukan sekadar "you press the button, we do the rest". Momentum ini memuncak pada reformasi politik 1998. Atmosfer kebebasan pada saat itu mendorong para fotografer menyampaikan pendapat visual mereka dalam berbagai pameran. Dan publik pun mendapat suguhan pilihan representasi visual di luar media massa. Pameran foto menjadi acara kebudayaan yang populer, begitu pula identitas sebagai fotografer. Momentum ini juga didukung dengan bermunculannya galeri foto, organisasi fotografi, dan agensi foto.

Mulai
yakin

Dengan dukungan momentum dan infrastruktur di atas, generasi terbaru fotografi Indonesia mulai yakin untuk mengembangkan minat dan gaya di luar kejamakan di atas. Mereka masuk lebih dalam pada subyek yang mereka garap, atau menjadikan pengalaman personal sebagai karya otobiografis. Mereka tidak lagi khawatir bahwa karya tersebut tidak mendapatkan ruang apresiasi. Di samping itu, berbagai peristiwa sosial politik besar dan bencana alam datang silih berganti, menjadi tambahan momentum yang menuntut para fotografer untuk bersikap dan mengekspresikannya dalam bentuk-bentuk yang baru. Bersamaan dengan ini, diskusi aspek nonteknis fotografi berkembang di media massa cetak, katalog pameran, majalah, dan seminar.
Sampai di sini, bisakah kita melacak perkembangan artistik fotografi di Indonesia? Bisakah kita menarik kaitan antara perkembangan fotografi kolonial, semasa revolusi, dengan praktik kontemporer medium ini? Dalam konteks ini, perkembangan fotografi Indonesia sejak kedatangan kamera di wilayah ini 166 tahun yang lalu masih sulit dilacak dan dipaparkan secara sistematis dan komprehensif. Pertimbangan-pertimbangan estetis dari ekspresi estetis setiap individu fotografer tampak tidak berakar dari para fotografer sebelumnya. Kita sulit melacak, misalnya, pengaruh Mendur dan Umbas bersaudara pada para fotografer jurnalistik sekarang. Apalagi pengaruh fotografer dan studio foto pada masa kolonial pada perkembangan artisitik fotografi sekarang.
Pengenalan medium ini di Indonesia, disertai dengan formalisasi tradisi visual Barat yang diadopsi oleh fotografi sebagai teknologi yang juga Barat, menjadi salah satu faktor kesulitan utama mendapatkan bentuk fotografi yang khas Indonesia. Padahal asumsinya kalau fotografi punya keterikatan mutlak dengan realitas dalam arti yang paling harfiah, setiap kondisi geografis dan cuaca tertentu pasti membentuk bangunan estetisnya sendiri. Tapi kenyataannya, problem teknis terus menyertai perkembangan fotografi di wilayah ini, di mana para fotografer harus terus berusaha menyelesaikan kendala-kendala teknis teknologi rekam Barat ini dengan udara dan cuaca tropis.
Pengaruh artistik studio foto komersial dari zaman kolonial yang masih tampak jejaknya adalah backdrop pemandangan alam atau kota yang indah dan romantis. Fotografi jurnalistik, alih-alih meneruskan tradisi Mendur dan Umbas bersaudara, malah masuk dalam referensi artistik World Press Photo. Sedangkan perkembangan di luar itu, yang baru berlangsung 10-15 tahun terakhir, adalah jangka waktu yang terlalu singkat untuk menarik kesimpulan. Simpul-simpul perkembangan yang ada, seperti sekolah dan galeri foto, walau setiap karakternya mulai dapat dirasakan, perjalannya masih harus diikuti lebih jauh.
Karya-karya mutakhir fotografi Indonesia yang sekarang kita lihat adalah hasil dari dialog medium ini dengan berbagai momentum yang menyertai perjalanan masyarakat di mana dia berada. Sebuah perjalanan pembebasan dari keterkungkungan fungsional (sambil terus berada di dalamnya), untuk ikut berbicara lebih banyak dalam perjalanan masyarakatnya (sambil tetap menjalankan fungsi praktisnya), untuk kemudian menciptakan momentumnya sendiri.
Mungkin sebaiknya kita tidak hanya bertanya apa yang dicapai fotografi Indonesia setelah lebih dari satu setengah abad kehadiran medium ini, tetapi juga mulai melihat keterlibatan fotografi dalam perkembangan masyarakat Indonesia modern.
Alexander Supartono Pengajar di Jurusan Fotografi FFTV IKJ

Isi posting ini kami ambil dari www.compas.com
sampai sni saja posting Unieq Crew semoga bermanfaat untuk siapapun ya..
Salam Hangat n Pizzzzpeace


Selengkapnya...